Customer Service
Informasikan kebutuhan Anda melalui SMS Center kami di 0877-500-86-500
Fanpage
Comments
Template Information
KELAUTAN DAN PERIKANAN|KP
Otomotif
INFO UTAMA
Pages
ADVERTISEMENT
Untuk Anda yang ingin menjual barang Anda lebih aman, segera hubungi Marketing Infomadura.com
Email kami:
maduraexposenews@gmail.com
serba - serbi
Sport
Featured Post 6
Sosial - Politik
Powered by Blogger.
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
-
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
Labels:
Berita
Sejak
jaman dahulu Indonesia dikenal sebagai negara pertanian atau negara
agraris. Namun sejak jaman dulu pula hingga jaman sekarang, jika
anak-anak Indonesia ditanya apakah cita-citanya kelak, pasti tidak ada
satu anak pun yang menjawab: “Menjadi petani”.
Begitu juga dengan
para orang tua yang mempunyai anak, biasanya para orang tua mengharapkan
anaknya sekolah setinggi mungkin agar kelak bekerja di kantor, dan
bukan bekerja di sawah atau kebun.
Jika ada siswa di
sekolah yang seragamnya selalu dekil atau kotor karena si anak suka main
bola atau berlari-larian saat jam istirahat, maka ada guru atau orang
tua siswa yang menasehati seperti ini: “Anak sekolah kok bajunya kotor dan bau keringat, seperti habis mencangkul di sawah saja! Memangnya kalau kamu besar nanti mau jadi petani?”
Wow, sedih saya mendengarnya. Apa salahnya jadi petani? Apakah pekerjaan petani bukan merupakan cita-cita atau pekerjaan yang patut dibanggakan?
Menarik untuk dikaji
lebih dalam bahwa ternyata baju sekolah yang serba seragam berdampak
secara tidak langsung untuk menjauhkan cara pandang anak-anak yang hidup
di negeri agraris ini dari bidang pertanian.
Baju atau kemeja seragam sekolah yang umumnya serba putih identik dengan cara berpakaian orang-orang yang bekerja di kantor. Ini bisa
menjadi semacam sinyal di otak masyarakat bahwa sekolah tempat melatih
anak-anak untuk berpakaian rapih agar jika nanti bekerja di kantor
sudah terbiasa memakai baju bersih serta wangi.
Dalam memilih jurusan
di Perguruan Tinggi pun ada label yang melekat bahwa seolah-olah kuliah
jadi insinyur jurusan arsitektur lebih keren dan hebat ketimbang jadi
insinyur pertanian.
Sungguh ironi.
Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris justru memposisikan
pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan atau cita-cita yang kurang populer dan dipandang hanya sebelah mata.
Mulai sejak pendidikan dasar hingga menengah,
muatan kurikulum tentang dunia pertanian masih terasa minim dan bahkan
sangat kurang. Kalau pun ada hanya sebatas teori.
Banyak yang menganggap
mempelajari seluk-beluk pertanian untuk siswa yang berdomisili di kota
tidak tepat sasaran. Saya kurang setuju dengan cara pandang yang
sempit seperti ini. Sebab sesungguhnya, bercocok tanam tidak selalu
membutuhkan lahan yang luas. Di perkotaan sudah banyak masyarakat yang secara individu mampu menyediakan kebutuhan pangan sehari-hari secara mandiri dengan
memanfaatkan pekarangan rumah yang tidak luas. Di lahan sempit kita
bisa menggunakan media pot untuk menanam berbagai jenis sayur mayur dan
bumbu dapur.
Bahkan, ada yang lebih
mencengangkan saya lagi ketika sebuah stasiun televisi swasta
menampilkan profil seorang warga perkotaan yang berhasil menanam padi
pada pot-pot (sebesar ember bak cucian baju). Kalau tidak salah ingat,
hanya dalam tempo tiga bulan maka enam pot berisi berderet-deret pohon
padi tersebut bisa di panen. Hasilnya adalah sebanyak lima kilogram
beras yang siap di konsumsi untuk keluarga tercinta. Jadi dengan
kenyataan ini maka sudah selayaknya pendidikan bercocok tanam sederhana
harus segera digalakkan dari ujung kota hingga pelosok desa. Bukankan
kita adalah negara agraris?
Bayangkan saja, jika
di Indonesia tidak ada seorang pun yang bercita-cita jadi petani (jadi
petani kaya), maka sudah dapat dipastikan lambat laun gelar Indonesia
sebagai negara agraris atau negara pertanian harus berakhir.
Segala macam kebutuhan
pangan yang sesungguhnya bisa tumbuh subur di Indonesia terpaksa harus
dibeli dari negara tetangga atau bahkan sampai ke Eropa. Akibatnya harga
pangan jadi tidak terjangkau dan kelaparan terjadi di mana-mana.
Mari kita lihat di
sekitar kita. Saat ini berapa banyak kawan atau kenalan yang kita kenal
ternyata dahulu orang tua atau kakeknya adalah petani tulen. Ternyata
kawan kita ini tidak meneruskan profesi orang tuanya atau kakeknya sebagai petani. Kawan-kawan kita sukses dalam bidang yang sangat jauh dari dunia pertanian, ada yang jadi tentara, polisi, bidan, pedagang, pegawai negeri/swasta, dokter, dan lain sebagainya.
Sayangnya, keberhasilan seorang petani saat ini ukurannya bukan lagi pada hasil pertaniannya. Para petani dianggap telah menjadi petani yang sukses jika mampu menyekolahan anak setinggi-tingginya dan akhirnya si anak bekerja di kantor.
Lalu ke mana tanah
warisan di kampung yang semula dijadikan lahan pertanian itu? Ya kalau
tidak dijual biasanya bagi-bagi kepada ahli warisnya untuk dijadikan
rumah tinggal.
Wah, kalau melarang
anak-anak petani bercita-cita menjadi dokter, insinyur, artis, wartawan,
dan lain-lain rasanya tidak etis karena melanggar Hak Asasi Manusia.
Namun yang terpenting adalah setelah sekolah tinggi jangan malu ikut
mencangkul di sawah atau di kebun. Jadikan bertani sebagai hobi yang
mendatangkan uang. Bukankah bercocok tanam bisa dilakukan disela-sela
kegiatan lainnya. Jadi petani intelek harus dijadikan sebagai gaya hidup yang baru.
Cara pandang buruk
terhadap profesi petani yang menganggap bahwa petani sebagai profesi
yang tidak mempunyai masa depan ini juga dipicu oleh kenyataan yang
kelam dalam dunia pertanian di tanah air.
Hasil kerja para petani tidak dihargai secara layak oleh sistem
yang selama ini sudah terbentuk. Tengkulak dan orang-orang berduit dari
kota seenaknya saja membeli hasil produksi petani dengan harga sangat
murah. Akibatnya harkat dan derajat hidup para petani tidak juga
terangkat sehingga selalu hidup di bawah garis kemiskinan.
Keadaan yang runyam semacam ini semakin membuat banyak orang yang sudah ancang-ancang kaki untuk meninggalkan lahan pertanian. Maka arus urbanisasi dari desa ke kota, terutama Jakarta kian tahun kian tidak bisa dibendung.
Jadi sebenarnya pengangguran yang selalu bertambah di Indonesia akan sulit di atasi jika pemerintah setengah hati membenahi keadaan pertanian di tanah air.
Jangan-jangan nanti
Indonesia tidak lagi dikenang sebagai negara agraris tetapi sebagai
negara pengemis dana bantuan dunia atau sebagai negara yang rajin
mencari pinjaman hutang luar negeri. Gali lubang, tutup lubang. (Puri Areta/kompasiana)
FASHION
© Copyright 2014 PT.MFN GROUP
www.infomadura.com|Toko Online Madura
www.infomadura.com|Toko Online Madura