Customer Service
Informasikan kebutuhan Anda melalui SMS Center kami di 0877-500-86-500
Fanpage
Comments
Template Information
KELAUTAN DAN PERIKANAN|KP
Otomotif
INFO UTAMA
Pages
ADVERTISEMENT
Untuk Anda yang ingin menjual barang Anda lebih aman, segera hubungi Marketing Infomadura.com
Email kami:
maduraexposenews@gmail.com
serba - serbi
Sport
Featured Post 6
Sosial - Politik
Powered by Blogger.
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
-
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
Suatu hari saya pergi ke Surabaya. Bersama rombongan
saya berkeliling kota (city tour) didampingi seorang
pemandu. Sesuai pekerjaannya, pemandu yang merupakan
orang Jawa asli itu menerangkan segala hal tentang
Surabaya berikut sejarah singkatnya. Ini Jembatan
Merah yang bersejarah itu, itu tugu Surabaya yang
terkenal itu, itu jembatan Suramadu yang akan menghubungkan antara
Pulau Jawa dengan Madura, bla-bla-bla…
Saya menyimak dengan tenang. Walaupun tidak mencatat
di buku, tapi otak saya menyimpannya dengan
baik. Dan kemudian, seolah menemukan ide menarik untuk
dibicarakan, ia mulai menerangkan tentang
karakteristik orang Madura. Begini lebih kurang katanya, “Orang
Madura terkenal sebagai orang yang licik. Bila mereka
menemukan suatu kawasan yang tidak ada pemiliknya,
maka mereka akan mengambilalih tempat itu. Hari
pertama mereka akan bersembunyi di dalam sebuah kardus di
lokasi itu, dari pagi sampai malam di dalam kardus
itu. Hari kedua mereka akan membangun gubuk dan hari ketiga
mereka akan menguasai tempat itu. Jadi, ibu-ibu, saya
ingatkan, hati-hati dengan orang Madura.”
“Hei! Itu rasis!” saya langsung protes. Spontan. Saya
jadi ingat bapak penjual sate Madura di Pekanbaru
yang ramahnya bukan main, senyumnya hangat dan satenya
enak. Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan bapak
tua itu, tidak punya teman orang Madura, dan tidak
pernah punya urusan dengan orang Madura. Namun ketika
ada orang yang sok paling hebat dan mendiskreditkan orang
Madura, entah mengapa saya jadi senewan.
Ya, itu sudah rasis. Mendiskreditkan suatu suku,
kelompok atau apalah namanya, menurut saya adalah
rasis.
SARA istilah lainnya. Saya tidak habis pikir dengan si
pemandu, mengapa dia harus menerangkan panjang lebar
tentang karakteristik orang Madura pada rombongan yang
tidak sekalipun bertanya soal itu. Yang membuat saya
lebih tidak mengerti jalan pikiran orang itu adalah,
mengapa ia tidak merasa punya kaitan dengan orang
Madura, padahal bagi kita yang orang awam, toh mereka
sama-sama Jawa? Apa orang Jawa Timur lebih tinggi
derajatnya dari orang Madura?
Kalau kita perhatikan baik-baik, isu rasial ini ada
dimana-mana. Di Amerika, orang Meksiko dianggap
orang yang paling pandai berbohong, hingga ada
anekdot, ketika orang Meksiko kecelakaan dan sekarat
di dalam mobilnya, ia berteriak minta tolong, namun tidak ada
yang mau membantu. Alasannya, orang Meksiko suka
bohong, sudah mati tapi ngaku masih hidup. Jadi tidak ada yang
percaya.
Hitler membasmi bangsa Yahudi yang jumlahnya ribuan
di Jerman karena merasa bangsa Yahudi lebih rendah
derajatnya dibandingkan ras Aria. Ribuan orang
Yahudi, besar-kecil, laki-laki atau perempuan, mati di
kamp-kamp konsentrasi. Salah satu yang kamp yang
paling mengerikan adalah kamp Auswich di Polandia.
Isu rasial juga terjadi di sini. Kita seringkali
mendengar bisik-bisik, ‘hati-hati dengan pejabat A,
dia anti Minang,’ atau ‘jangan menikah dengan pria suku B,
mereka suka beristri lebih dari satu,’ atau, ‘Kampus C
dikuasi oleh suku X, selain suku X dijamin tidak akan bisa lulus
dengan cepat dan nilai yang bagus,’ blablabla…
Saya heran ada orang yang merasa lebih tinggi
dibandingkan orang lain. Bisa jadi karena sukunya,
jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Padahal, dari
masing-masing suku itu, selain memiliki tokoh panutan,
pasti juga memiliki oknum-oknum yang bermoral buruk.
Bukan hanya itu, setiap manusia juga pastilah memiliki dosa.
Tidak ada yang sempurna. Tidak ada orang yang sepanjang hidupnya
tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada juga orang
yang sepanjang hidupnya salah terus. Sekali waktu, tentulah
kita akan tergelincir, terpeleset, hingga melakukan
kesalahan.
Hari ini mungkin kita memerankan tokoh baik, namun di
kali lain mendapat peran jahat. Lalu, mengapa masih
ada yang merasa paling tinggi derajatnya dibandingkan orang
lain?
*)
saya berkeliling kota (city tour) didampingi seorang
pemandu. Sesuai pekerjaannya, pemandu yang merupakan
orang Jawa asli itu menerangkan segala hal tentang
Surabaya berikut sejarah singkatnya. Ini Jembatan
Merah yang bersejarah itu, itu tugu Surabaya yang
terkenal itu, itu jembatan Suramadu yang akan menghubungkan antara
Pulau Jawa dengan Madura, bla-bla-bla…
Saya menyimak dengan tenang. Walaupun tidak mencatat
di buku, tapi otak saya menyimpannya dengan
baik. Dan kemudian, seolah menemukan ide menarik untuk
dibicarakan, ia mulai menerangkan tentang
karakteristik orang Madura. Begini lebih kurang katanya, “Orang
Madura terkenal sebagai orang yang licik. Bila mereka
menemukan suatu kawasan yang tidak ada pemiliknya,
maka mereka akan mengambilalih tempat itu. Hari
pertama mereka akan bersembunyi di dalam sebuah kardus di
lokasi itu, dari pagi sampai malam di dalam kardus
itu. Hari kedua mereka akan membangun gubuk dan hari ketiga
mereka akan menguasai tempat itu. Jadi, ibu-ibu, saya
ingatkan, hati-hati dengan orang Madura.”
“Hei! Itu rasis!” saya langsung protes. Spontan. Saya
jadi ingat bapak penjual sate Madura di Pekanbaru
yang ramahnya bukan main, senyumnya hangat dan satenya
enak. Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan bapak
tua itu, tidak punya teman orang Madura, dan tidak
pernah punya urusan dengan orang Madura. Namun ketika
ada orang yang sok paling hebat dan mendiskreditkan orang
Madura, entah mengapa saya jadi senewan.
Ya, itu sudah rasis. Mendiskreditkan suatu suku,
kelompok atau apalah namanya, menurut saya adalah
rasis.
SARA istilah lainnya. Saya tidak habis pikir dengan si
pemandu, mengapa dia harus menerangkan panjang lebar
tentang karakteristik orang Madura pada rombongan yang
tidak sekalipun bertanya soal itu. Yang membuat saya
lebih tidak mengerti jalan pikiran orang itu adalah,
mengapa ia tidak merasa punya kaitan dengan orang
Madura, padahal bagi kita yang orang awam, toh mereka
sama-sama Jawa? Apa orang Jawa Timur lebih tinggi
derajatnya dari orang Madura?
Kalau kita perhatikan baik-baik, isu rasial ini ada
dimana-mana. Di Amerika, orang Meksiko dianggap
orang yang paling pandai berbohong, hingga ada
anekdot, ketika orang Meksiko kecelakaan dan sekarat
di dalam mobilnya, ia berteriak minta tolong, namun tidak ada
yang mau membantu. Alasannya, orang Meksiko suka
bohong, sudah mati tapi ngaku masih hidup. Jadi tidak ada yang
percaya.
Hitler membasmi bangsa Yahudi yang jumlahnya ribuan
di Jerman karena merasa bangsa Yahudi lebih rendah
derajatnya dibandingkan ras Aria. Ribuan orang
Yahudi, besar-kecil, laki-laki atau perempuan, mati di
kamp-kamp konsentrasi. Salah satu yang kamp yang
paling mengerikan adalah kamp Auswich di Polandia.
Isu rasial juga terjadi di sini. Kita seringkali
mendengar bisik-bisik, ‘hati-hati dengan pejabat A,
dia anti Minang,’ atau ‘jangan menikah dengan pria suku B,
mereka suka beristri lebih dari satu,’ atau, ‘Kampus C
dikuasi oleh suku X, selain suku X dijamin tidak akan bisa lulus
dengan cepat dan nilai yang bagus,’ blablabla…
Saya heran ada orang yang merasa lebih tinggi
dibandingkan orang lain. Bisa jadi karena sukunya,
jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Padahal, dari
masing-masing suku itu, selain memiliki tokoh panutan,
pasti juga memiliki oknum-oknum yang bermoral buruk.
Bukan hanya itu, setiap manusia juga pastilah memiliki dosa.
Tidak ada yang sempurna. Tidak ada orang yang sepanjang hidupnya
tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada juga orang
yang sepanjang hidupnya salah terus. Sekali waktu, tentulah
kita akan tergelincir, terpeleset, hingga melakukan
kesalahan.
Hari ini mungkin kita memerankan tokoh baik, namun di
kali lain mendapat peran jahat. Lalu, mengapa masih
ada yang merasa paling tinggi derajatnya dibandingkan orang
lain?
*)
Fitri Mayani, Bekerja di jurnalist
Dulu bersekolah di universitas andalas
FASHION
© Copyright 2014 PT.MFN GROUP
www.infomadura.com|Toko Online Madura
www.infomadura.com|Toko Online Madura