Pedoman Media Siber
Nayeeha Yeera, 38, dan Noorayaharn Awae, 44, sedang dalam perjalanan mereka untuk bekerja di Sekolah Phitak Witthaya Kumung di Chanae, Narathiwat ketika sebuah bom yang ditanam di semak belukar pinggir jalan meledak. Ledakan ni menyebabkan mobil mereka - minibus Daihatsu putih - meluncur ke selokan.
Kedua wanita itu tewas seketika akibat luka pecahan bom. Pengemudi mobil, guru matematika Apichart Benjulamat berusia 33 tahun, dilarikan ke rumah sakit dengan luka serius, juga dari pecahan bom. Tiga anggota dari pasukan keamanan yang ditugaskan untuk mengawal para guru tersebut ke sekolah mengalami luka.
Sommai Jehwae, direktur Sekolah Phitak Witthaya Kumung , menyatakan keterkejutannya atas pembunuhan tersebut. Dia mengatakan bahwa para murid dan guru di sekolah sangat berduka.
"Kedua orang guru yang meninggal dipuja oleh siswa mereka, dan semua guru dan siswa menangis dan meratapi mereka ketika mendengar berita tentang meninggalnya kedua guru tersebut. Tidak ada yang berpikir bahwa akan ada serangan seperti ini, khususnya selama bulan suci Ramadhan. Tapi sekali lagi para guru telah menjadi sasaran dan dibunuh, "katanya kepada Khabar Southeast Asia pada hari Rabu.
"Karena kedua dari guru yang dibunuh adalah Muslim, kita juga perlu bergerak cepat untuk menguburkan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yang menyatakan bahwa mereka harus dikuburkan dalam waktu 24 jam sejak meninggal. Saya mengharapkan semua staf pengajar dan siswa menghadiri upacara pemakaman. "
Peristiwa ini kembali menimbulkan pertanyaan di kalangan guru dan staf sekolah tentang efektivitas langkah-langkah keamanan yang dirancang untuk memastikan keselamatan mereka. Pada hari mereka dibunuh, mobil yang dikendarai oleh ketiga orang guru mendapat pengawalan keamanan yang terdiri dari tiga petugas dalam truk pickup Isuzu, ditambah empat staf keamanan lainnya, yang mengendarai dua sepeda motor secara berpasangan.
"Langkah-langkah keamanan di tempat pada saat itu cukup baik," kata Sommai kepada Khabar. "Namun, mengingat apa yang telah terjadi hari ini saya ingin meminta pemerintah untuk meninjau rencana keselamatan guru dan melakukan perbaikan."
Warga "diliputi duka"
Jehruhanee Baka, seorang guru di sekolah tersebut, berteman dengan ketiga korban. Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa mengerti apa hasil yang diharapkan para pemberontak dengan menjadikan para pendidik sebagai sasaran.
"Saya tidak tahu mengapa harus dengan cara ini," katanya kepada Khabar. "Apa yang mereka [para pemberontak] inginkan? Sebagai guru, yang ingin kami lakukan hanya mengajar dan mengembangkan siswa kami untuk menjadi orang baik. Itu saja; kami tidak memiliki kekuatan khusus atau konflik dengan kelompok atau individu lainnya. Saya dan semua rekan-rekan guru saya sangat sedih, tetapi yang bisa kita lakukan hanyalah bertanya 'mengapa?' "
Borsuden Jehsama, 40 tahun, orang tua dari salah satu siswa di sekolah itu, mengatakan bahwa masyarakat terhuyung-huyung akibat berita itu. "Saya kenal kedua korban dengan baik, dan saya bisa membuktikan bahwa mereka berdua orang yang sangat baik, selalu siap untuk membantu warga setempat. Saya tidak pernah membayangkan bahwa hidup mereka dapat berakhir seperti ini. Semua orang tua sedih, beberapa terdiam dan diliputi duka, yang lain belum bisa mengerti apa yang telah terjadi," katanya kepada Khabar.
Dia menambahkan bahwa meskipun adanya potensi bahaya ia dan keluarganya akan menghadiri upacara pemakaman bagi kedua guru tersebut.
"Kami ingin memberi penghormatan kami dan selalu mengingat keindahan dan kebaikan mereka. Ketika saya berpikir tentang hal ini, melakukan serangan seperti ini ketika bulan Ramadhan, sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam," katanya.
Sumber:khabarsoutheastasia.com
Teknologi
