Customer Service
Informasikan kebutuhan Anda melalui SMS Center kami di 0877-500-86-500
Fanpage
Comments
Template Information
KELAUTAN DAN PERIKANAN|KP
Otomotif
INFO UTAMA
Pages
ADVERTISEMENT
Untuk Anda yang ingin menjual barang Anda lebih aman, segera hubungi Marketing Infomadura.com
Email kami:
maduraexposenews@gmail.com
serba - serbi
Sport
Featured Post 6
Sosial - Politik
Powered by Blogger.
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
-
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
Labels:
Aura Wisata,
Berita
(Oleh: Syaf Anton Wr ). Tradisi Tan Pangantanan
merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang.
Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba,
setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul,
dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama
(perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian
berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.
Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak
tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang
dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias
memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih).
Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak
bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning (koneng ngamennyor).
Sedangkan untuk mempercantik penampilan, maka di atas kepala
di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean bunga
melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari roncean daun
melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta dilengkapi
pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan
yang di bawa oleh pengiring.
Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan
kedua pengantin di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin
bertemu lengkap dengan para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat
untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak
keliling kampung, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan
tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang
iringan pengantin semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama
anak-anak. Sambil berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong
Dhe’ Ne’ Nang.
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran
Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”
Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan
berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait
“Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574
M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’”, yaitu dari
kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun
tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena
analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan
sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam
kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang
condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu
pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro)
sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang
burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo
(pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).
Rentetan Peristiwa Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’
Ne’ Nang
Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan
tentara Bali ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon
ta’ nondhe’ jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke
laut (jaggur, sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami
kekalahan, dan kemudian sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran.
Daerah pemukiman yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya
tersebut dinamakan Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih
dijadikan acara ritual, yang dikenal dengan ritual “Nyadar.”
Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II,
dan meramalkan masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena
haedhang haena dhangkong”, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan
masuknya sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah
Belanda tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan,
Tumenggung Sumenep.
Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan
loji pamaso’a ka karaton”, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton).
Ini berkaitan dengan kisah, ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke
Demak. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara
dirampok sehingga beliau tidak bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa
tersebut maka terungkaplah kalimat, “pangantan, ka’ imma pangantan”, artinya
pengantin kemana pengantin (pangeran) ?
Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang).
Makna pada kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa
yang berasal dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin
yang bukan berasal dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan
tersebut maka muncullah pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut
dapat ditaklukkan oleh Raden Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan
sebuah kalimat, “duh panarema, duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu
dengan besar hati dan lapang dada.
Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng
Pati. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas.
Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena
Jayeng Pati merubah peraturan dan adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati
merupakan otak peristiwa perampokan terhadap Cakranegara I. Pada masa
pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis ekonomi dan menyebabkan kehidupan
rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu menyebabkan rakyat hanya mampu makan,
“nase’ obi kowa lorkong”, artinya makan ubi dan sayur lorkong (jenis
tanaman makanan ular).
Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan
istana, yaitu oportunis, KKN, dan ABS. peristiwa ini dikiaskan pada
kalimat, ”pangerengnga pate’ buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa
kembalinya dari keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan
dari Jayeng Pati dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah
rasa patriotisme mulai menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme
Belanda, meski masih memakai sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun
mendapat pujian rakyat, sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan
sopaja kengeng Salamet, ya salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya
mendapat keselamatan, ya selamat, selamat), yang pada masa itu masih bergolak
perlawanan Trunojoyo.
Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin
lah tiba”, yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo
dengan mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga
rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.
Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia
dianggap orang yang mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan
perangkat dari sistem feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton.
Untuk ini terungkap, “tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya
saudara-saudara yang berada dalam soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah
tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat mulai berkembang dengan harapan, “olle
tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam dan Iman.
Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi
pemberontakan melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,”
(anak serdadu memikul memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti
Belanda namun masih tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II
serta cucunya, Jaga Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro
pada saat pertempuran di Madura.
Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan
ka’imma pangantan”, (penganten (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran
Lolos di serang Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada
kalimat, “jas Turki pakaian celana puti”, dimaksud jas Turki celana putih,
yaitu pakaian jas bentuk terbuka sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah
merah berumbai-rumbai. Jas terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.
Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, “Yam beranak
etekla ayam pengantin baru sudah berjalan”. Maksudnya pemerintahan diganti oleh
seseorang tapi bukan dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya
sebentar karena selalu terjadi peperangan.
“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan
oleh seorang ibu, yaitu Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya
diserahkan kepada Bindara Saod (1750-1762 M). namun timbul permasalahan
sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk
burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari
keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat
rendah).
Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian
tertentu dari masing-masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi
penafsiran lain yang bersifat dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis
dogma yang terkandung merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga
bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin
yang memiliki kekuatan politik serta kritik sosial pada jamannya.
Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai
pengertian mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana
harapan penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh
masyarakatnya, yaitu ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung
penderitaan, ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti
letupan-letupan detak gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa
senasib sepenanggungan, sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”,
yang berasal dari kata, “dhu’ nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam
pengertian nondhu’ para orang tua Mdura, menyimpulkan kepada, “Bapa’,
babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah, ibu, guru (ulama), dan
ratu (pemimpin).
Kandungan Filsafat
Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong
dhe’ ne’ nang merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang
terkondisi oleh berbagai permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat
merupakan makna dimensionalisme dogma. Maknanya bisa berarti dialektika
sejarah, budaya, filsafat, sufisme melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai
kekuatan politik dalam kritik-kritik sosial pada jamannya.
Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’
nang mengangkat ritualisme dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek
sasaran yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada
tiap-tiap bait, bait pertama hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari
awal pengantin sampai pada babak kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai
beberapa bula berikutnya.
Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong
sebagai masa bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam
irama gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa
menunduk), yaitu rasa bahagia tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang
karena sudah berlabuh kebahagiaan. Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’
nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur berkonotasi dua
pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan idealisme
pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang selalu
didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah
membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan
titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena dhangkong, masa
itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.
Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh
yang terdapat pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup
dan mati pada bait ke-8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara
pengamat yang lain mengatakan, kalimat pakaian jas Turkimerupakan
singkatan bahasa Madura, yang ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada
masa persalinan. Sehingga secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara
universal semua orang mengalami peristiwa tersebut.
Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa
dimaksudkan merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan
tentang hakekat asal, akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan
ilmu kebatinan Jawa, hal ini merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu,
hakekat sebelum dan sesudah hidup. Pengertian masa Dhe’ nong dhe’
ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa kekosongan dalam awal azal.
Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai
bait ke-12. ini merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat,
tarekat, dan makrifat dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada
hidup dan tidak ada hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada
hidup”, yang dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang
hidup, (“jaga berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah),
berserah diri kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini
menjelaskan filsafat periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat
Darwinisme, yang digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan
revolusinya Kal Mark. Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang
periodeisme metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong
dhe’ ne’ nang, tetapi yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”,
karena ayam mengeram telur etek (bebek). Demikian antara lain kandungan
filsafat yang tercakup dari bagian-bagian bait dan baris tertentu.
Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong
dhe’ ne’ nang tersimpan doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya.
Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4 yang menyangkut ilmu psikis. Bait
ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu methaphisik. Dan bait ke-13
memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu tentang hakekat, “cocco’
sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh burung gelatik disuruh
pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna kunci (sorok). Jadi
apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik pada kunci pedati. Sehingga
dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti paruh yang bersudut, berpusat
pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa dorongan perputaran roda
pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan dialektika dan romantika
gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran tasawuf.
Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’
nang memng memerlukan peralatan dan wacana yang memadai, karena makna yang
terkandung didalamnya mengandung isyarat-isyarat yang sangat mendalam. Sebab
tradisi semacam Tan Pangantanan ini memiliki akar budaya yang sangat kuat
sebagai landasan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakatnya pada jaman dulu
hingga sekarang. Secara implisit makna kandungan dalam syair Dhe’ nong
dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu pendalaman. Namun untuk
mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena
didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang berkaitan dan bersifat
transendental/Syaf Anton Wr/Lilik Rosida Irmawati. (LM/fer).
“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod (1750-1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat rendah).
Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan politik serta kritik sosial pada jamannya.
Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan, ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan, sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’ nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura, menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah, ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).
Kandungan Filsafat
Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna dimensionalisme dogma. Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufisme melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam kritik-kritik sosial pada jamannya.
Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat ritualisme dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada babak kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.
Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan. Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur berkonotasi dua pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan idealisme pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang selalu didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena dhangkong, masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.
Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada bait ke-8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang lain mengatakan, kalimat pakaian jas Turkimerupakan singkatan bahasa Madura, yang ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang mengalami peristiwa tersebut.
Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat asal, akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan Jawa, hal ini merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan sesudah hidup. Pengertian masa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa kekosongan dalam awal azal.
Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan makrifat dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan tidak ada hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”, yang dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup, (“jaga berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah), berserah diri kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini menjelaskan filsafat periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat Darwinisme, yang digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan revolusinya Kal Mark. Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang periodeisme metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, tetapi yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”, karena ayam mengeram telur etek (bebek). Demikian antara lain kandungan filsafat yang tercakup dari bagian-bagian bait dan baris tertentu.
Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4 yang menyangkut ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu methaphisik. Dan bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu tentang hakekat, “cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh burung gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik pada kunci pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti paruh yang bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa dorongan perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan dialektika dan romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran tasawuf.
Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan dan wacana yang memadai, karena makna yang terkandung didalamnya mengandung isyarat-isyarat yang sangat mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini memiliki akar budaya yang sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakatnya pada jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna kandungan dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu pendalaman. Namun untuk mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang berkaitan dan bersifat transendental/Syaf Anton Wr/Lilik Rosida Irmawati. (LM/fer).
FASHION
© Copyright 2014 PT.MFN GROUP
www.infomadura.com|Toko Online Madura
www.infomadura.com|Toko Online Madura