Customer Service
Informasikan kebutuhan Anda melalui SMS Center kami di 0877-500-86-500
Fanpage
Comments
Template Information
KELAUTAN DAN PERIKANAN|KP
Otomotif
INFO UTAMA
Pages
ADVERTISEMENT
Untuk Anda yang ingin menjual barang Anda lebih aman, segera hubungi Marketing Infomadura.com
Email kami:
maduraexposenews@gmail.com
serba - serbi
Sport
Featured Post 6
Sosial - Politik
Powered by Blogger.
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
-
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
![]() |
Ist |
Penurunan jumlah produksi minyak bisa kita lihat dari perbandingan produksi minyak tahun 2002 yang mencapai 1,25 juta barrel per tahun hingga 2009 yang hanya 956 ribu barrel per tahun. Produksi gas bumi nusantara yang menjadi kebanggaan Indonesia pun ikut terpengaruh dengan pertumbuhannya yang menurun tajam pada 2008-2009. Penurunan produksi migas nasional terjadi karena beberapa hal yaitu buruknya kegiatan hulu atau kegiatan eksplorasi dan berakibat iklim investasi Indonesia tak lagi menarik bagi investor.
Pasalnya, untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi, para investor harus melewati berbagai kerumitan panjangnya proses birokrasi. Pungutan resmi seperti pajak maupun tidak resmi (pungutan liar) oleh pemerintah daerah setempat semakin menggerahkan investor bahkan ketika kegiatan eksplorasi pun belum dimulai sama sekali.
Penurunan produksi migas juga diperparah dengan minimnya partisipasi BUMN seperti Pertamina dalam perannya sebagai Public Service Obligation (PSO). Akibatnya selama ini keuntungan negara dari sektor migas tidak merefleksikan adanya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kekacauan
pengelolaan sektor energi migas ini bermula pada perubahan regulasi
yang mengatur dunia energi migas Indonesia. Peralihan regulasi dari UU
No.8 tahun 1971 ke UU No.22 tahun 2001 (UU Migas) sontak
menggoyahkan ketahanan energi nasional. Ruh revisi undang-undang yang
akrab kita sebut UU Migas ini mengindikasikan ketidakberpihakan
pemerintah pada pemenuhan energi domestik.
Akibatnya, kerugian negara di sana-sini
dan tidak sedikitpun respon pemerintah dalam menangani kerugian
besar-besaran yang terjadi. Keputusan-keputusan tidak logis atau sebut
saja "kebodohan" pemerintah yang telah dilakukan antara lain menjual gas
dari blok Donggi Senoro kepada Mitsubishi dan menjual gas Tangguh di
Papua kepada Cina dengan harga yang tidak masuk akal yakni $3.35/MMBTU
ketika harga gas dunia memiliki rata-rata $13/MMBTU.
Ironisnya perilaku
pemerintah ini menyebabkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami
kekurangan pasokan gas pada unit pembangkitnya yang mengakibatkan
pembangkitan listrik yang seharusnya berharga Rp 400 / kWh menjadi Rp
1300 / kWh karena menggunakan diesel dalam pembangkitannya yang notabene
berharga lebih mahal.
Dasar
pengelolaan energi di Indonesia termaktub dalam konstitusi negara
Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal ini, ayat (2) dan
(3) secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Frase ‘cabang-cabang produksi’ dalam ayat (2) menyatakan
kegiatan hilir berada di bawah kuasa pemerintah. Begitu pula dengan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tercermin
pada frase ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini
artinya, pemerintah bertanggungjawab secara penuh atas keberlangsungan
kegiatan pengelolaan energi. Salah satu cerminan dari pasal 33 UUD tahun
1945 adalah UU No.8 tahun 1971 yang mengatur tata kelola energi primer
sektor migas.
Ketika
UU No.8 tahun 1971 masih berlaku, Pertamina berperan sebagai
satu-satunya perusahaan migas negara dan sebagai pemegang kuasa bisnis (economic/business rights). Sistem Production Sharing Contract (PSC)
yang diimplemetasikan oleh Pertamina sejak tahun 1966 menjadi format
kontrak yang paling cocok digunakan di Indonesia. Di bawah kendali
Pertamina, para investor mau bekerjasama dengan Pertamina
atas kontrak-kontrak kerja yang telah disepakati.
Pada saat itu,
pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik dibanding setelah
UU Migas diberlakukan. Dapat dibandingkan ketika blok-blok operasi migas masih dimiliki atau dikuasai oleh Pertamina maka pemasukan sektor migas kepada negara menjadi maksimal.
Berubahnya landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas dari UU No.8 tahun 1971 menjadi UU Migas
merubah pula secara keseluruhan nilai dan proses ekenomi pada sektor
migas di Indonesia. Faktanya, latar belakang UU Migas tidak berdasarkan
UUD 1945 pasal 33 dan tidak disesuaikan dengan realita Indonesia.
Berlakunya UU Migas merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap IMF untuk mendapatkan paket pinjaman dana sebesar $43 miliar ketika krisis tahun 1997/1998 terjadi.
Restrukturisasi ekonomi pada masa itu merujuk pada liberalisasi pasar
di sektor migas yang mengakibatkan UU No.8 tahun 1971 harus diganti.
Tarik-menarik pemegang kuasa pertambangan menjadikan penyelesaian
pembahasan UU Migas (1999-2001) lebih didasarkan pada kompromi.
Kuasa
pertambangan tidak dipegang oleh DESDM ataupun Pertamina tetapi
dipegang oleh badan independen. Dapat disimpulkan bahwa penggantian UU
Pertamina menjadi UU Migas berawal dari persengketaan kepemilikan blok
tempat produksi migas, dengan kata lain ketika sektor usaha hulu menjadi
persengketaan maka berimbas ke sektor usaha hilir. Penerapan liberalisasi sektor migas mengakhiri hak istimewa Pertamina dalam penyediaan dan pendistribusian BBM dan menjadikan UU Migas yang diwarnai dengan beberapa pasal yang mengedepankan pasar bebas.
Dampak dari penerapan UU Migas adalah aset pertamina jauh berkurang dari asalnya. Saat ini Pertamina memiliki jumlah aset 1/5 dibandingkan Petronas Malaysia yang sesungguhnya blok produksi migas di Indonesia jauh lebih banyak. Akibat dari proses bisnis migas yang berbelit dan menimbulkan ongkos produksi migas di Indonesia semakin mahal dan berakibat pada naiknya harga jual kepada masyarakat.
Selain itu dampak dari pelaksanaan UU migas adalah terbentuknya badan pengelola migas yaitu Badan Pelaksana Migas (BP Migas). BP Migas kemudian mengambil alih kendali dan mendepak penuh Pertamina sebagai pemegang kuasa bisnis migas yang notabene National Oil Company di Indonesia.
Keputusan kontrak-kontrak kerja dengan investor dialihkan kepada badan
‘independen’ yang bertitel badan hukum negara ini. Bahkan pada pasal 44
ayat (3) poin (b), salah satu tugas BP Migas adalah melaksanakan
penandatanganan kontrak kerja sama.
Sedangkan BP Migas adalah Badan
Hukum Milik Negara yang tidak sewajarnya memiliki kewenangan dalam
pemutusan usaha migas karena erat kaitannya dengan dunia politik dan
birokrasi. Padahal tugas dari BP Migas hanya menjadi badan yang
memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan usaha migas di
Indonesia.
Bayangkan saja segala transaksi bisnis dan keputusan usaha
dilakukan oleh sebuah badan hukum yang tidak mempunyai kegiatan utama
dalam hal bisnis. Sehingga apa nasib kebijakan kegiatan migas Indonesia
5-10 tahun kedepan?
Kisruh pengelolaan migas ini harus segera diselesaikan demi kepentingan negara Indonesia. Kesalahan yang telah terjadi harus menjadi prioritas utama untuk segera diperbaiki.
Saat ini pemerintahan SBY-Boediono harus bertanggung jawab dalam
pengelolaan energi primer sektor migas di Indonesia. Kementrian ESDM
saat ini dipimpin oleh seseorang yang kurang kompeten dalam bidang
pengelolaan energi dan pemerintah harus mengambil tindakan tegas dalam
hal ini.
Pemerintah harus mencari orang yang tepat untuk memimpin
pengelolaan energi sektor migas Indonesia agar keuntungan negara menjadi
maksimal. Untuk jangka panjang, lembaga legislatif yang dikomandoi
Komisi 7 harus segera merubah UU Migas menjadi UU yang bersahabat demi
kesejahteraan rakyat dan keuntungan negara Indonesia, maka bila ada
fraksi yang menolak untuk merubah UU tersebut maka fraksi tersebut dapat
dikatakan musuh bangsa.
Kasus penjualan gas LNG Tangguh pun merupakan hal yang serius akibat dari pelaksanaan UU Migas. Kerugian negara yang yang dialami sangatlah besar. Dengan harga yang sangat tidak seimbang dengan harga pasar LNG dunia.
Indonesia hanya mematok tarif flat sebesar 3.25 $ per MMBTU disaat
harga LNG dunia saat ini berkisar diharga 16 $ per MMBTU. Penjualan
dengan harga tidak wajar ini akan berlangsung hingga 25 tahun kedepan
sehingga kerugian negara Indonesia bagai gajah di pelupuk mata.
Hal ini
tidak boleh dibiarkan, pelaku yang membuat kesepakatan menyengsarakan
Indonesia ini harus diadili hingga ke akar-akarnya. Pemerintahan yang
berkuasa ketika kesepakatan ini ditandatangani harus bertanggung jawab
penuh atas perilaku yang merugikan masyarakat dan harus dihukum
seberat-beratnya.
Penulis:
Ridwan Aldilah (Mentri Koordinator Kebijakan Publik Kabinet KM-ITB)
Ratna Nataliani ( Deputi Kajian Bidang Energi Kabinet KM-ITB)
Sumber:
Majalah Energi : Edisi November 2010, Halaman 48
Redaktur:
Fathol Bari (MadurataniCom)
FASHION
© Copyright 2014 PT.MFN GROUP
www.infomadura.com|Toko Online Madura
www.infomadura.com|Toko Online Madura