Customer Service
Informasikan kebutuhan Anda melalui SMS Center kami di 0877-500-86-500
Fanpage
Comments
Template Information
KELAUTAN DAN PERIKANAN|KP
Otomotif
INFO UTAMA
Pages
ADVERTISEMENT
Untuk Anda yang ingin menjual barang Anda lebih aman, segera hubungi Marketing Infomadura.com
Email kami:
maduraexposenews@gmail.com
serba - serbi
Sport
Featured Post 6
Sosial - Politik
Powered by Blogger.
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
-
?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
INFOMADURA.COM| Seperti
yang tercatat dalam sejarah, perpindahan bangsa-bangsa secara
besar-besaran dari Asia tenggara terjadi pada kurun waktu yang panjang
(antara 4000 – 2000 sebelum Masehi).
![]() |
#Ilustrasi budaya: www.lintas.up2det.com |
Kejadian ini antara lain
berasal-muasal dari bertambah pesat kerajaan –kerajaan Cina. Karena
kepesatan perkembangan kebudayaannya mereka lalu meluaskan pengaruh
kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan yang langsung terkena dampaknya
adalah wilayah Tibet (yang merupakan tanah leluhur bangsa Burma) dan
daerah Yunan (yang semula dihuni orang Thai dan Vietnam).
Akibat dari
mengalirnya kedatangan bangsa Cina tersebut, maka bangsa-bangsa Burma,
Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan.
Hingga
akhirnya, perpindahan mereka lalu melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa
Proto Melayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan
Indochina. Fenomena itu menyebabkan kelompok bangsa-bangsa tersebut
menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian dari mereka melakukan
perpindahan ke daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang
terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati Semenanjung kemudian
menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di Nusantara.
Proses
perpindahan melintasi lautan tersebut tidak berlangsung sekaligus.
Kebanyakan dari mereka berangkat secara bergelombang kelompok demi
kelompok dalam kurun waktu kurang lebih 2000 tahun. Karena tidak
bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu maka kelompok-kelompok tersebut
tiba di tempat yang berlainan pulau di Nusantara. Walau pada mulanya
mereka serumpun bangsa dan bahasanya, lama-kelamaan pemisahan Geografis
menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin membesar. Pembauran dengan
kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deotero Melayu) yang datang belakangan
ternyata mempertajam perbedaan karena pemisahan itu. Sesudah beberapa
abad berlaku maka terjadilah suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang
terlihat sekarang di kepulauan Indonesia ini.
Namun
demikian masih dapat disaksikan adanya persamaan mendasar di antara
mereka. Misalnya kesamaan dalam cara menamakan benda-benda umum (padi,
pandan, ubi, udang, hujan, batu) di sekelilingnya, atau dalam model
penyebutan nama seseorang berdasarkan nama anak sulungnya. Kesamaan
substansi pun dapat di jumpai pada penggunaan kata bantu (ekor, batang,
lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki
kesamaan dalam kesukaannya dalam meng konsumsi ikan kering yang
diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang ditapaikan.
Semuanya juga ternyata sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna
kulit, bentuk muka, perawakan badan serta sifat fisik serta tubuh
lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari
rumpun bangsa yang sama.
Salah
satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi laut itu terdampar ke suatu
pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para
pendatang ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang
bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina mereka
mengacu pada apai dengan mana apoy, menyebut istrinya bine dan memakai
kata ella untuk menyatakan sudah. Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya.
Bahasa mereka mengenal konsonan rangkap seperti bassa, cacca, daddi,
kerrong dan pennai. Kalau dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang
mendiami pulau-pulau di sekitarnya, leluhur orang Madura ini umumnya
memiliki tengkorak yang celah matanya lebar mendatar dengan tulang pipi
lebih menonjol. Raut muka mereka tidak begitu halus dan warna kulitnya
lebih gelap.
Dari
beberapa hasil penelitian sejarah belum dapat dipastikan apakah
sesampainya di pulau yang akan menjadi tempat huniannya cikal-bakal suku
bangsa Madura itu menjumpai penduduk asli Nusantara. Jika ada maka
penduduk asli itu akan dapat dikalahkan sebab mereka masih berkebudayaan
batu tua (paeolitik). Adapun pendatang baru dari utara itu telah
berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti ditunjukkan oleh peninggalan
mereka yang diketemukan di Madura. Jadi mereka telah berkemampuan
mengupam atau mengasah batu menjadi beliung atau kapak persegi, yang
dapat pula dijadikan pacul.
Setelah
ratusan tahun di Madura maka para pendatang baru itu menjadi
beranak-pinak dan terpencar-pencar ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau
kecil di sekitar Madura dihuninya juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean
di timur, pulau Mandangil di selat Madura dan pulau Masalembu serta
Bawean di laut Jawa. Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang
besarnya di tentukan oleh kesuburan tanah atau daya dukung ekologi
setempat. Beberapa kelompok ini jumlahnya sampai ratusan orang sehingga
kemudian membentuk satuan-satuan tersendiri namun masih terikat satu
sama lain oleh kesamaan bahasa. Dan lama-kelamaan memunculkan dialek
setempat yang terhadap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah
(Sampang dan Pamekasan), timur (Sumenep) dan timur sekali (Kangean).
Lambat laun timbul pula ras keterkaitan pada tanah kelahiran dan pada
kelompok masyarakat yang menghuni nya karena kebersamaan peruntungan dan
kebersamaan nya. Jarak Geografis pusat-pusat pemukiman yang berjauhan
itu menyebabkan perbedaan di antara mereka itu semakin mantap. Apalagi
karena perkembangan selanjutnya mengikuti alur sejarah yang agak
berlainan untuk setiap wilayah.
Peninggalan
purbakala berupa kapak dan bejana perunggu (sebagai pengejawantahan
peradaban Dongson) yang se-type dengan yang ada di daratan Cina Selatan
dan Asia Tenggara juga diketemukan di wilayah Sampang, ini memberi bahwa
tidak terputusnya hubungan Madura dengan daratan Asia, yang mungkin
dilakukan untuk keperluan perdagangan. Tetapi karena Madura tidak
menghasilkan komoditas perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan,
maka timbul dugaan bahwa mereka ini merupakan pedagang perantara.
Mungkin juga hanya bermodalkan pengetahuan tentang seni berlayar, maka
pelaut-pelaut Madura menyediakan perahunya untuk membawa pedagang dari
bangsa lain mengarungi lautan lepas.
Kerajaan-kerajaan
kecil di Madura tentu menjadi merdeka sebentar sampai raja Airlangga
berhasil meng-konsolidasi kekuasaannya pada tahun 1017. Keutuhan Negara
cepat pulih dan kesejahteraan rakyat segera dikelola kembali. Kegiatan
perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya ramai lagi.
Di kerajaan Airlangga pedagang asing membeli gading, cula badak,
mutiara, kapur barus, gaharu, cendana, rempah-rempah serta kulit penyu
dan burung. Beras merupakan komoditas hasil bumi Jawa yang penting untuk
bekal berlayar yang memakan waktu berbulan-bulan. Saudagar asing
membayar pembeliannya dengan uang emas dan perak. Di samping itu mereka
memasukkan sutra dan pecah belah dari proselen.
Dari
pemberitaan Cina kita mengetahui bahwa kerajaan Airlangga itu bernama Pu
Chia Lung (Panjalu). Pelabuhan utamanya adalah Chung Kia Lu (Ujung
Galuh) yang terletak dekat muara sungai Brantas. Di sebelah timurnya
lagi terdapat pelabuhan Ta pan (Sampang / Ketapang ) yang merupakan
sebuah kota penting kerajaan bawahan. Dari sini jelas bahwa peran Madura
sebagai penjaga jalur lalu lintas maritime kerajaan Panjalu itu
sangatlah besar.
Agaknya
pada waktu itu ada penguasa Madura di Pancangan yang menyia-nyiakan
istrinya yang cantik tetapi berpenyakit menjijikkan. Ini kemudian
meng-ilhami terjadinya kisah kesetiaan pasangan Bangsacara dan Ragapadmi
yang tersohor itu. Kota kuno Pancangan terletak dekat Kwanyar di pantai
selatan Madura memang sangat strategis untuk mengamankan jalur Ujung
Galuh, Bali dan kawasan Nusantara timur yang menjadi penghasil cendana.
Kota pelabuhan sekitar Arosbaya pun tentu memperoleh status istimewa
untuk melancarkan arus pelayaran ke Sriwijaya, Banjarmasin, Maluku dan
pusat-pusat kerajaan lainnya.
Sebagai
seorang raja besar Airlangga tidak melupakan mengembangkan kesenian
rakyatnya. Mahabharata dan Ramayana yang sebelumnya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa Kawi digubah kembali sehingga kisah itu seakan-akan
terjadi di bumi Nusantara. Karena itu Negara Madura yang diperintah
raja Bala Dewa diidentifikasi dengan daerah Madura barat. Widarba, yang
merupakan negara mertua Khrisna, Di tumpang tindihkan dengan kerajaan
Bidarba yang beribu kota Pacangan tempat Bangsacara berjumpa Ragapadmi.
Prabu Salya dikisahkan memerintah kerajaan Mandaraka yang terletak di
Madura timur sampai sekarang didekat Ambunten ada desa yang bernama
Mandaraga. Pewayangan sebagai wahana penyajian karya agung ke hadapan
khalayak ramai juga sudah mulai mapan. Agaknya pada waktu itu
perkembangan wayang topeng Madura yang khas itu sudah mendekati bentuk
akhir kesempurnaannya seperti yang dijumpai sekarang ini.
Namun
lambat laun peradaban orang Madura purba itu mengalami kemajuan yang
berarti. Sejalan dengan perkembangan yang dialami bangsa-bangsa lain di
Nusantara. Pada waktunya orang Madura juga memasuki masa perundingan.
Masa ini ditandai oleh penguasa teknologi pengolahan biji logam. Pada
masa itu muncullah dalam masyarakat segolongan orang yang berkemampuan
khusus membuat barang-barang kerajinan. Keterampilan mereka membuat
gegabah semakin meningkat. Begitu pula pengetahuan masyarakat tentang
pemeliharaan ternak bertambah baik.
Dengan
adanya perahu bercadik (yang sekarang masih ada serta pengembangannya
dalam bentuk jukong) dimungkinkan ada di antara rombongan pendatang
tersebut yang sampai ke pulau kecil ini dengan rakit. Dugaan ini
didasarkan pada salah satu mythology yang menggambarkan cara orang-orang
tua Madura tempo doeleo menjelaskan asal usul leluhurnya. Mereka
menganggap dirinya keturunan sang Segara, pangeran laut yang sampai ke
pulau ini dalam kandungan ibunya yang terdampar di pantai utara. Madura
dengan menaiki rakit.
Kebanyakan
rumah-rumah adat masyarakat Madura dibuat menghadap ke selatan, hal ini
disebabkan oleh sejarah perjalanan leluhur mereka yang datang dari arah
utara ke selatan dikarenakan terdesaknya nenek moyang mereka dari
daerah asalnya, dan route perjalanan yang dilakukan untuk menyelamatkan
diri ditempuh melalui jalur laut menuju daerah selatan. Sejak peristiwa
itu bagi bangsa ini laut merupakan symbol dan keselamatan dan masa depan
yang penuh harapan, akan tetapi ada pula pendapat yang menyatakan
bahwa, masyarakat Madura yang dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh
menganggap laut sebagai cerminan hidup yang penuh dengan tantangan dan
gelora yang harus dihadapi dalam mengarungi kehidupannya serta harapan
masa depannya.
Laut
juga menjadi cermin pelambang kebebasan jiwa petualangannya dan wadah
ekspresi rasa kemerdekaannya. Dalam perjalanan sejarah kehidupan leluhur
bangsanya mereka pernah mendapat ancaman bahaya yang datang dari
pedalaman di utara. Karena itu mudah lah di mengerti jika mereka selalu
menggapai ke arah selatan yang waktu itu berupa laut. Orientasi ke laut
secara luas dapat dimaknakan ka lao’ dalam bahasa Madura (yang berarti
ke selatan, yaitu penunjuk arah lawan utara). Berbeda dengan orang Jawa,
mythology Nyai Loro Kidul yang mengagung-agungkan pantai laut selatan
Samudera India tidak mempunyai akar dalam tradisi asli mythology rakyat
Madura.
Hanya
sayang tenttang keberadaan pemerintahan di Madura yg sejak masa
Airlangga, hanya berita dari China dan tak ada sumber lain yg
menungjangnya, sehingga kurang kuat untuk dijadikan acuan. Dan tidak ada
sisa situs peninggalan sejarah sebagai bukti kebenarannya. Dengan
demikian maka Arya Wiraraja lah ditentukan sebagai Adipati pertama di
Sumenep / Madura, itu berdasarkan beberapa sumber yg cukup kuat,
diantaranya adalah Prasasti Mula Malurung, Kitab Nagarakretagama, Serat
Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan
lain sebagainya. Menurut tulisan Drs Abdurrahman (manta Bupati
Sumenep), bahwa di Sumenep / Madura sebelum Arya Wiraraja sudah ada
pemerintahan yg berpangkat Akuwu. Tapi sangat disayangkan tidak ada
tulisan yg jelas tentang hal tersebut. Dan sangat disayangkan prasasti
Mula Malurung lempengan VI A dan B 12 hilang, sehingga penjelasan
tentang pemerintahan sebelum Arya Wiraraja kurang jelas. (Tadjul Arifin
R)
Seperti
yang tercatat dalam sejarah, perpindahan bangsa-bangsa secara
besar-besaran dari Asia tenggara terjadi pada kurun waktu yang panjang
(antara 4000 – 2000 sebelum Masehi). Kejadian ini antara lain
berasal-muasal dari bertambah pesat kerajaan –kerajaan Cina. Karena
kepesatan perkembangan kebudayaannya mereka lalu meluaskan pengaruh
kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan yang langsung terkena dampaknya
adalah wilayah Tibet (yang merupakan tanah leluhur bangsa Burma) dan
daerah Yunan (yang semula dihuni orang Thai dan Vietnam). Akibat dari
mengalirnya kedatangan bangsa Cina tersebut, maka bangsa-bangsa Burma,
Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan.
Hingga
akhirnya, perpindahan mereka lalu melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa
Proto Melayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan
Indochina. Fenomena itu menyebabkan kelompok bangsa-bangsa tersebut
menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian dari mereka melakukan
perpindahan ke daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang
terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati Semenanjung kemudian
menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di Nusantara.
Proses
perpindahan melintasi lautan tersebut tidak berlangsung sekaligus.
Kebanyakan dari mereka berangkat secara bergelombang kelompok demi
kelompok dalam kurun waktu kurang lebih 2000 tahun. Karena tidak
bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu maka kelompok-kelompok tersebut
tiba di tempat yang berlainan pulau di Nusantara. Walau pada mulanya
mereka serumpun bangsa dan bahasanya, lama-kelamaan pemisahan Geografis
menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin membesar. Pembauran dengan
kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deotero Melayu) yang datang belakangan
ternyata mempertajam perbedaan karena pemisahan itu. Sesudah beberapa
abad berlaku maka terjadilah suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang
terlihat sekarang di kepulauan Indonesia ini.
Namun
demikian masih dapat disaksikan adanya persamaan mendasar di antara
mereka. Misalnya kesamaan dalam cara menamakan benda-benda umum (padi,
pandan, ubi, udang, hujan, batu) di sekelilingnya, atau dalam model
penyebutan nama seseorang berdasarkan nama anak sulungnya. Kesamaan
substansi pun dapat di jumpai pada penggunaan kata bantu (ekor, batang,
lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki
kesamaan dalam kesukaannya dalam meng konsumsi ikan kering yang
diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang ditapaikan.
Semuanya juga ternyata sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna
kulit, bentuk muka, perawakan badan serta sifat fisik serta tubuh
lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari
rumpun bangsa yang sama.
Salah
satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi laut itu terdampar ke suatu
pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para
pendatang ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang
bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina mereka
mengacu pada apai dengan mana apoy, menyebut istrinya bine dan memakai
kata ella untuk menyatakan sudah. Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya.
Bahasa mereka mengenal konsonan rangkap seperti bassa, cacca, daddi,
kerrong dan pennai. Kalau dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang
mendiami pulau-pulau di sekitarnya, leluhur orang Madura ini umumnya
memiliki tengkorak yang celah matanya lebar mendatar dengan tulang pipi
lebih menonjol. Raut muka mereka tidak begitu halus dan warna kulitnya
lebih gelap.
Dari
beberapa hasil penelitian sejarah belum dapat dipastikan apakah
sesampainya di pulau yang akan menjadi tempat huniannya cikal-bakal suku
bangsa Madura itu menjumpai penduduk asli Nusantara. Jika ada maka
penduduk asli itu akan dapat dikalahkan sebab mereka masih berkebudayaan
batu tua (paeolitik). Adapun pendatang baru dari utara itu telah
berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti ditunjukkan oleh peninggalan
mereka yang diketemukan di Madura. Jadi mereka telah berkemampuan
mengupam atau mengasah batu menjadi beliung atau kapak persegi, yang
dapat pula dijadikan pacul.
Setelah
ratusan tahun di Madura maka para pendatang baru itu menjadi
beranak-pinak dan terpencar-pencar ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau
kecil di sekitar Madura dihuninya juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean
di timur, pulau Mandangil di selat Madura dan pulau Masalembu serta
Bawean di laut Jawa. Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang
besarnya di tentukan oleh kesuburan tanah atau daya dukung ekologi
setempat. Beberapa kelompok ini jumlahnya sampai ratusan orang sehingga
kemudian membentuk satuan-satuan tersendiri namun masih terikat satu
sama lain oleh kesamaan bahasa. Dan lama-kelamaan memunculkan dialek
setempat yang terhadap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah
(Sampang dan Pamekasan), timur (Sumenep) dan timur sekali (Kangean).
Lambat laun timbul pula ras keterkaitan pada tanah kelahiran dan pada
kelompok masyarakat yang menghuni nya karena kebersamaan peruntungan dan
kebersamaan nya. Jarak Geografis pusat-pusat pemukiman yang berjauhan
itu menyebabkan perbedaan di antara mereka itu semakin mantap. Apalagi
karena perkembangan selanjutnya mengikuti alur sejarah yang agak
berlainan untuk setiap wilayah.
Peninggalan
purbakala berupa kapak dan bejana perunggu (sebagai pengejawantahan
peradaban Dongson) yang se-type dengan yang ada di daratan Cina Selatan
dan Asia Tenggara juga diketemukan di wilayah Sampang, ini memberi bahwa
tidak terputusnya hubungan Madura dengan daratan Asia, yang mungkin
dilakukan untuk keperluan perdagangan. Tetapi karena Madura tidak
menghasilkan komoditas perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan,
maka timbul dugaan bahwa mereka ini merupakan pedagang perantara.
Mungkin juga hanya bermodalkan pengetahuan tentang seni berlayar, maka
pelaut-pelaut Madura menyediakan perahunya untuk membawa pedagang dari
bangsa lain mengarungi lautan lepas.
Kerajaan-kerajaan
kecil di Madura tentu menjadi merdeka sebentar sampai raja Airlangga
berhasil meng-konsolidasi kekuasaannya pada tahun 1017. Keutuhan Negara
cepat pulih dan kesejahteraan rakyat segera dikelola kembali. Kegiatan
perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya ramai lagi.
Di kerajaan Airlangga pedagang asing membeli gading, cula badak,
mutiara, kapur barus, gaharu, cendana, rempah-rempah serta kulit penyu
dan burung. Beras merupakan komoditas hasil bumi Jawa yang penting untuk
bekal berlayar yang memakan waktu berbulan-bulan. Saudagar asing
membayar pembeliannya dengan uang emas dan perak. Di samping itu mereka
memasukkan sutra dan pecah belah dari proselen.
Dari
pemberitaan Cina kita mengetahui bahwa kerajaan Airlangga itu bernama Pu
Chia Lung (Panjalu). Pelabuhan utamanya adalah Chung Kia Lu (Ujung
Galuh) yang terletak dekat muara sungai Brantas. Di sebelah timurnya
lagi terdapat pelabuhan Ta pan (Sampang / Ketapang ) yang merupakan
sebuah kota penting kerajaan bawahan. Dari sini jelas bahwa peran Madura
sebagai penjaga jalur lalu lintas maritime kerajaan Panjalu itu
sangatlah besar. Agaknya pada waktu itu ada penguasa Madura di Pancangan
yang menyia-nyiakan istrinya yang cantik tetapi berpenyakit
menjijikkan. Ini kemudian meng-ilhami terjadinya kisah kesetiaan
pasangan Bangsacara dan Ragapadmi yang tersohor itu. Kota kuno Pancangan
terletak dekat Kwanyar di pantai selatan Madura memang sangat strategis
untuk mengamankan jalur Ujung Galuh, Bali dan kawasan Nusantara timur
yang menjadi penghasil cendana. Kota pelabuhan sekitar Arosbaya pun
tentu memperoleh status istimewa untuk melancarkan arus pelayaran ke
Sriwijaya, Banjarmasin, Maluku dan pusat-pusat kerajaan lainnya.
Sebagai
seorang raja besar Airlangga tidak melupakan mengembangkan kesenian
rakyatnya. Mahabharata dan Ramayana yang sebelumnya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Jawa Kawi digubah kembali sehingga kisah itu seakan-akan
terjadi di bumi Nusantara. Karena itu Negara Madura yang diperintah
raja Bala Dewa diidentifikasi dengan daerah Madura barat. Widarba, yang
merupakan negara mertua Khrisna, Di tumpang tindihkan dengan kerajaan
Bidarba yang beribu kota Pacangan tempat Bangsacara berjumpa Ragapadmi.
Prabu Salya dikisahkan memerintah kerajaan Mandaraka yang terletak di
Madura timur sampai sekarang didekat Ambunten ada desa yang bernama
Mandaraga. Pewayangan sebagai wahana penyajian karya agung ke hadapan
khalayak ramai juga sudah mulai mapan. Agaknya pada waktu itu
perkembangan wayang topeng Madura yang khas itu sudah mendekati bentuk
akhir kesempurnaannya seperti yang dijumpai sekarang ini.
Namun
lambat laun peradaban orang Madura purba itu mengalami kemajuan yang
berarti. Sejalan dengan perkembangan yang dialami bangsa-bangsa lain di
Nusantara. Pada waktunya orang Madura juga memasuki masa perundingan.
Masa ini ditandai oleh penguasa teknologi pengolahan biji logam. Pada
masa itu muncullah dalam masyarakat segolongan orang yang berkemampuan
khusus membuat barang-barang kerajinan. Keterampilan mereka membuat
gegabah semakin meningkat. Begitu pula pengetahuan masyarakat tentang
pemeliharaan ternak bertambah baik.
Dengan
adanya perahu bercadik (yang sekarang masih ada serta pengembangannya
dalam bentuk jukong) dimungkinkan ada di antara rombongan pendatang
tersebut yang sampai ke pulau kecil ini dengan rakit. Dugaan ini
didasarkan pada salah satu mythology yang menggambarkan cara orang-orang
tua Madura tempo doeleo menjelaskan asal usul leluhurnya. Mereka
menganggap dirinya keturunan sang Segara, pangeran laut yang sampai ke
pulau ini dalam kandungan ibunya yang terdampar di pantai utara. Madura
dengan menaiki rakit.
Kebanyakan
rumah-rumah adat masyarakat Madura dibuat menghadap ke selatan, hal ini
disebabkan oleh sejarah perjalanan leluhur mereka yang datang dari arah
utara ke selatan dikarenakan terdesaknya nenek moyang mereka dari
daerah asalnya, dan route perjalanan yang dilakukan untuk menyelamatkan
diri ditempuh melalui jalur laut menuju daerah selatan. Sejak peristiwa
itu bagi bangsa ini laut merupakan symbol dan keselamatan dan masa depan
yang penuh harapan, akan tetapi ada pula pendapat yang menyatakan
bahwa, masyarakat Madura yang dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh
menganggap laut sebagai cerminan hidup yang penuh dengan tantangan dan
gelora yang harus dihadapi dalam mengarungi kehidupannya serta harapan
masa depannya. Laut juga menjadi cermin pelambang kebebasan jiwa
petualangannya dan wadah ekspresi rasa kemerdekaannya. Dalam perjalanan
sejarah kehidupan leluhur bangsanya mereka pernah mendapat ancaman
bahaya yang datang dari pedalaman di utara. Karena itu mudah lah di
mengerti jika mereka selalu menggapai ke arah selatan yang waktu itu
berupa laut. Orientasi ke laut secara luas dapat dimaknakan ka lao’
dalam bahasa Madura (yang berarti ke selatan, yaitu penunjuk arah lawan
utara). Berbeda dengan orang Jawa, mythology Nyai Loro Kidul yang
mengagung-agungkan pantai laut selatan Samudera India tidak mempunyai
akar dalam tradisi asli mythology rakyat Madura.
Hanya
sayang tenttang keberadaan pemerintahan di Madura yg sejak masa
Airlangga, hanya berita dari China dan tak ada sumber lain yg
menungjangnya, sehingga kurang kuat untuk dijadikan acuan. Dan tidak ada
sisa situs peninggalan sejarah sebagai bukti kebenarannya. Dengan
demikian maka Arya Wiraraja lah ditentukan sebagai Adipati pertama di
Sumenep / Madura, itu berdasarkan beberapa sumber yg cukup kuat,
diantaranya adalah Prasasti Mula Malurung, Kitab Nagarakretagama, Serat
Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan
lain sebagainya. Menurut tulisan Drs Abdurrahman (manta Bupati
Sumenep), bahwa di Sumenep / Madura sebelum Arya Wiraraja sudah ada
pemerintahan yg berpangkat Akuwu. Tapi sangat disayangkan tidak ada
tulisan yg jelas tentang hal tersebut. Dan sangat disayangkan prasasti
Mula Malurung lempengan VI A dan B 12 hilang, sehingga penjelasan
tentang pemerintahan sebelum Arya Wiraraja kurang jelas. (Tadjul Arifin R)
LONTAR MADURA
FASHION
© Copyright 2014 PT.MFN GROUP
www.infomadura.com|Toko Online Madura
www.infomadura.com|Toko Online Madura